Pendidikan agama merupakan salah satu fondasi penting dalam sistem
pendidikan Indonesia. Keberadaannya di sekolah maupun madrasah tidak hanya
sebatas memenuhi kewajiban formal dalam kurikulum nasional, tetapi juga
berperan dalam membentuk karakter, moralitas, dan nilai-nilai kemanusiaan pada
diri peserta didik. Dalam konteks masyarakat yang semakin kompleks, pendidikan
agama diharapkan tidak berhenti pada transmisi pengetahuan dogmatis, tetapi
juga mendorong lahirnya generasi yang memiliki literasi keagamaan yang baik.
Literasi keagamaan diartikan sebagai kemampuan memahami ajaran agama secara
mendalam, kritis, kontekstual, serta dapat mengaitkannya dengan persoalan
kehidupan sehari-hari. Hal ini penting mengingat generasi muda saat ini
dihadapkan pada berbagai tantangan global, seperti arus informasi yang begitu
cepat, penetrasi budaya digital, hingga berkembangnya ideologi-ideologi
transnasional yang berpotensi mengikis nilai moderasi beragama. Oleh karena
itu, penguatan literasi keagamaan di sekolah dan madrasah merupakan kebutuhan
mendesak agar agama tidak hanya dipahami dalam dimensi ritual, melainkan juga
sebagai sumber nilai universal yang menuntun kehidupan bersama.
Pendidikan Agama di Sekolah/Madrasah: Fungsi dan Orientasi
Secara normatif, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Hal ini menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum maupun madrasah. Di sekolah umum, pendidikan agama diberikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib yang bertujuan membentuk peserta didik beriman, bertakwa, serta berakhlak mulia. Sementara itu, di madrasah, pendidikan agama memiliki porsi yang lebih besar, bahkan menjadi ciri khas institusi tersebut. Meski berbeda dalam kadar, keduanya memiliki orientasi yang sama, yaitu membentuk pribadi religius, moderat, dan berkarakter.
Namun, dalam praktiknya, pendidikan agama di sekolah/madrasah sering kali
menghadapi tantangan. Pertama, kecenderungan pendekatan tekstual yang lebih
menekankan hafalan ayat atau doa daripada pemahaman makna dan relevansinya.
Kedua, keterbatasan media pembelajaran yang inovatif, sehingga pelajaran agama
dipersepsi monoton. Ketiga, minimnya integrasi antara teori keagamaan dengan
konteks kehidupan nyata peserta didik. Tantangan inilah yang mendorong lahirnya
gagasan literasi keagamaan sebagai paradigma baru dalam pembelajaran agama.
Konsep Literasi Keagamaan dalam Pendidikan Formal
Literasi keagamaan bukan sekadar kemampuan membaca teks-teks agama,
melainkan melibatkan empat dimensi utama:
1. Pemahaman Tekstual
Peserta didik mampu membaca, menghafal, dan memahami teks-teks suci serta
literatur keagamaan dasar.
2. Pemahaman Kontekstual
Peserta didik dapat menghubungkan ajaran agama dengan konteks sosial,
budaya, dan tantangan zaman yang mereka hadapi.
3. Kemampuan Reflektif
Peserta didik diajak untuk melakukan refleksi kritis sehingga nilai-nilai
agama tidak hanya dipahami secara literal, tetapi mampu memandu pengambilan
keputusan etis dalam kehidupan.
4. Pengamalan Praktis
Literasi keagamaan harus tercermin dalam sikap dan perilaku sehari-hari,
baik dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun lingkungan.
Prinsip
literasi keagamaan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Mujādilah
[58]:11:
يٰٓاَيُّهَا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ
فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ
دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ١١
Artinya:
11. Wahai orang-orang yang beriman,
apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,”
lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan,
“Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah
Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menegaskan bahwa menuntut ilmu, termasuk ilmu agama, merupakan
sarana untuk meningkatkan derajat manusia. Dengan demikian, literasi keagamaan
menjadi sarana strategis untuk menguatkan karakter peserta didik, membangun
sikap toleran, serta menumbuhkan kesadaran bahwa agama bukan sekadar identitas
formal, melainkan sumber inspirasi kehidupan bersama.
Aspek-Aspek Pelaksanaan Pendidikan Agama dan Literasi Keagamaan
1. Kurikulum dan Struktur Pembelajaran
Kurikulum pendidikan agama di sekolah/madrasah perlu didesain untuk
mendorong literasi keagamaan. Bukan hanya memuat doktrin, melainkan juga
menekankan pada aspek pemahaman kritis, interpretasi kontekstual, serta
keterampilan sosial keagamaan.
Penelitian Windy Dian Sari dalam artikelnya Religious Literacy in the
PAI Curriculum in Madrasah menyebutkan bahwa kurikulum PAI harus diarahkan
pada literasi keagamaan agar peserta didik tidak terjebak pada krisis
konseptual. Kurikulum berbasis literasi keagamaan juga menekankan integrasi
nilai-nilai agama dengan tantangan kehidupan kontemporer, misalnya isu
lingkungan, pluralitas, hingga perkembangan teknologi.[1]
2. Metode dan Media Pembelajaran
Metode pembelajaran agama yang hanya berpusat pada ceramah sudah tidak
relevan. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran berbasis diskusi, studi
kasus, simulasi, project-based learning, hingga pemanfaatan teknologi digital.
Zarkasi dkk. dalam penelitiannya Learning Al-Qur’an Hadith Using Study
Tours menunjukkan bahwa metode kreatif seperti studi wisata mampu
meningkatkan pemahaman siswa tentang Al-Qur’an dan hadis sekaligus menumbuhkan
sikap moderasi beragama. Ini membuktikan bahwa metode inovatif dapat
menghubungkan literasi keagamaan dengan pengalaman nyata peserta didik.[2]
3. Kompetensi Guru Agama
Guru adalah aktor utama dalam penguatan literasi keagamaan. Tidak cukup hanya menguasai materi agama, guru juga harus memiliki kompetensi pedagogis, metodologis, serta kemampuan literasi digital. Pada sebuah penelitian yang dilaksanakan Lia Sawitri menekankan bahwa guru PAI di SMPN 2 Mentaya Hulu berperan besar dalam menguatkan literasi keagamaan melalui pendekatan persuasif, pembiasaan, serta pengintegrasian nilai agama dalam kehidupan sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa guru harus mampu menjadi teladan sekaligus fasilitator bagi tumbuhnya literasi keagamaan peserta didik.[3]
4. Sistem Evaluasi
Evaluasi dalam pendidikan agama seharusnya tidak semata-mata menekankan
aspek kognitif, seperti hafalan ayat, doa, atau penguasaan teori, tetapi juga
mencakup dimensi afektif (sikap, akhlak, nilai-nilai religius) dan psikomotorik
(praktik ibadah serta pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari). Dengan
demikian, penilaian tidak hanya sebatas angka, tetapi lebih pada sejauh mana
peserta didik mampu merefleksikan dan menginternalisasi nilai agama dalam
perilakunya.
5. Lingkungan Sekolah/Madrasah
Lingkungan pendidikan memiliki kontribusi besar dalam pembentukan literasi
keagamaan. Sekolah atau madrasah yang membangun budaya religius—seperti
pembiasaan doa, tadarus Al-Qur’an, perayaan hari besar agama, dan praktik
moderasi—akan memperkuat internalisasi nilai agama.
Muhammad Fatchur Rochim dkk. menekankan pentingnya integrasi madrasah
diniyah dalam sekolah dasar untuk memperkuat moderasi beragama. Ini menunjukkan
bahwa lingkungan yang mendukung nilai keagamaan akan memperluas ruang literasi
peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas.[4]
Tantangan dalam Pelaksanaan Pendidikan Agama
Meski memiliki potensi besar, implementasi pendidikan agama di
sekolah/madrasah menghadapi sejumlah tantangan serius:
- Keterbatasan
Kurikulum yang masih lebih menekankan aspek kognitif dan hafalan ketimbang
pemahaman mendalam.
- Kompetensi Guru yang
Beragam, sehingga tidak semua mampu mengintegrasikan literasi keagamaan
dalam pembelajaran.
- Minimnya Sumber
Belajar inovatif, terutama media digital dan literatur yang sesuai dengan
perkembangan zaman.
- Waktu Pembelajaran
yang Terbatas pada sekolah umum, sehingga pelajaran agama sering terkesan
sekadar pelengkap.
- Kurangnya Dukungan
Kelembagaan, misalnya keterbatasan program pelatihan guru atau minimnya
fasilitas penunjang kegiatan keagamaan.
Tantangan-tantangan ini perlu diatasi melalui kebijakan pemerintah, inovasi
guru, serta kolaborasi dengan masyarakat.
Strategi Penguatan Literasi Keagamaan
Berbagai penelitian merekomendasikan sejumlah strategi penguatan literasi
keagamaan di sekolah/madrasah, di antaranya:
- Reformasi Kurikulum
pendidikan agama agar lebih menekankan pada pemahaman kontekstual dan
integratif.
- Pelatihan Guru secara
berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi pedagogis dan literasi
digital.
- Penggunaan Teknologi
seperti e-learning, aplikasi Al-Qur’an digital, atau video interaktif
untuk memperkaya pembelajaran.
- Kegiatan
Ekstrakurikuler bernuansa keagamaan yang dirancang kreatif dan inklusif,
misalnya kajian tematik, lomba literasi keagamaan, dan praktik sosial
berbasis nilai agama.
- Evaluasi Menyeluruh
yang tidak hanya mengukur kognitif, tetapi juga sikap, karakter, dan
praktik keagamaan siswa.
- Membangun Budaya
Sekolah Religius dengan menekankan moderasi, toleransi, serta pengamalan
nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan agama di sekolah dan madrasah memegang peran strategis dalam membentuk generasi religius, berkarakter, dan moderat. Namun, keberhasilan pendidikan agama tidak cukup diukur dari aspek kognitif semata. Penguatan literasi keagamaan merupakan jalan menuju pendidikan agama yang lebih bermakna, kontekstual, dan aplikatif. Aspek kurikulum, metode pembelajaran, kompetensi guru, evaluasi, serta budaya sekolah harus saling mendukung dalam mewujudkan literasi keagamaan. Tantangan yang ada menuntut inovasi, kolaborasi, dan keseriusan dari semua pihak, baik pemerintah, sekolah, guru, maupun masyarakat. Dengan literasi keagamaan yang kuat, peserta didik tidak hanya mampu memahami agamanya secara benar, tetapi juga mampu hidup harmonis di tengah masyarakat yang majemuk. Dengan demikian, pendidikan agama di sekolah/madrasah bukan hanya sarana transmisi doktrin, melainkan juga wahana pembentukan pribadi religius, kritis, moderat dan siap menghadapi tantangan global.
[1] Windy Dian Sari, “Religious Literacy In The PAI
Curriculum In Madrasah,” Edukasi Islami:
Jurnal Pendidikan Islam 12, no. 04 (2023),
https://doi.org/10.30868/ei.v12i04.5240.
[2] Zarkasi et al., “Learning
Al-Qur’an Hadith Using Study Tours to Improve Religious Moderation Attitudes
and Socio-Cultural Literacy of Madrasah Aliyah Students,” Jurnal Pendidikan Agama Islam 21, no. 2 (2024): 461–76,
https://doi.org/10.14421/jpai.v21i2.8744.
[3] Lia Sawitri, “Upaya Guru PAIDalam Menguatkan Pemahaman
Literasi Keagamaan Pada Peserta Didik Di SMPN 2 Mentaya Hulu,” Jurnal Pendidikan Islam Al-Affan 5, no.
1 (2024): 327–46.
[4] Muhammad Fatchur Rochim, Siti Khumairotul Lutfiyah,
and Iksan Kamil Sahri, “Integration of Madrasah Diniyah As Strengthening
Religious Moderation in Elementary School,” AULADUNA:
Jurnal Pendidikan Dasar Islam 11, no. 2 (2024): 133–48,
https://doi.org/10.24252/auladuna.v11i2a3.2024.