Masjid sejak masa Rasulullah ﷺ
bukan hanya menjadi tempat ibadah, melainkan juga pusat peradaban umat. Di sana
lahir gagasan, musyawarah, pendidikan, bahkan aktivitas sosial yang membangun
masyarakat. Dalam konteks kekinian, muncul tantangan baru dengan hadirnya
generasi milenial yang memiliki karakter berbeda: melek teknologi, kreatif,
ekspresif, dan gemar berkolaborasi. Banyak di antara mereka mencari ruang yang
bukan hanya religius, tetapi juga inspiratif dan produktif. Oleh karena itu,
masjid dituntut untuk bertransformasi agar tetap relevan dan mampu menjawab
kebutuhan zaman. Konsep “Masjid Ramah Milenial” hadir sebagai
jawaban atas perubahan sosial tersebut. Ramah bukan berarti mengurangi fungsi
ibadah, melainkan memperluas peran masjid sebagai tempat pengembangan
kreativitas, literasi digital, kepedulian sosial, serta wadah tumbuhnya
generasi beriman yang juga berdaya guna bagi masyarakat. Dengan demikian,
masjid tidak hanya dipandang sebagai tempat ritual, tetapi juga sebagai pusat
kreativitas sosial yang memberi warna positif bagi generasi muda.
Dalam sejarah Islam, masjid selalu menjadi
pusat kehidupan. Rasulullah ﷺ membangun Masjid Nabawi bukan hanya untuk salat, tetapi juga
sebagai tempat belajar, musyawarah, hingga pengelolaan sosial umat. Hal ini
selaras dengan firman Allah ﷻ: “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid
Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta
tetap mendirikan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapapun)
selain kepada Allah...” (QS. At-Taubah: 18). Ayat ini menegaskan bahwa kemakmuran masjid
tidak hanya sebatas ritual, melainkan juga meliputi kegiatan sosial yang
menumbuhkan kebaikan di tengah masyarakat. Rasulullah ﷺ bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia lain." (HR. Ahmad). Hadis ini menjadi dasar
bahwa aktivitas sosial di masjid, termasuk kreativitas milenial dalam bidang
pendidikan, seni Islami, literasi, hingga teknologi digital, adalah bagian dari
ibadah bila diniatkan untuk kebaikan. Tokoh
yang relevan untuk menggambarkan masjid ramah milenial adalah Syaikh Ahmad
Yasin, pendiri Hamas di Palestina. Meski dalam kondisi keterbatasan fisik,
beliau menjadikan masjid bukan hanya tempat salat, tetapi pusat pembinaan
generasi muda, pendidikan agama, dan perlawanan intelektual. Masjid dalam
pandangannya adalah ruang lahirnya kreativitas sosial yang membangkitkan
semangat umat. Dalam konsep ini dapat diwujudkan melalui
berbagai program masjid seperti: kajian interaktif berbasis digital, kelas
kewirausahaan pemuda, pelatihan konten Islami, hingga kegiatan sosial seperti
bakti lingkungan dan gerakan literasi. Masjid juga dapat memanfaatkan media
sosial untuk dakwah kreatif, sehingga lebih dekat dengan generasi milenial dan
Gen Z. Dengan begitu, masjid ramah milenial akan
melahirkan komunitas yang tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga aktif
berinovasi dan peduli pada sesama.
Masjid ramah milenial adalah sebuah kebutuhan zaman. Ia tidak mengurangi nilai kesakralan masjid sebagai rumah Allah, melainkan memperluas perannya agar lebih inklusif, kreatif, dan responsif terhadap kebutuhan generasi muda. Dengan pendekatan ini, masjid dapat menjadi ruang yang memadukan antara ibadah spiritual dan kreativitas sosial, sehingga semakin banyak pemuda yang merasa memiliki dan terlibat dalam kegiatan masjid. Ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah ﷺ memberikan pijakan bahwa kemakmuran masjid terletak pada kebermanfaatannya bagi umat. Menghidupkan masjid dengan berbagai aktivitas produktif adalah bagian dari ibadah dan upaya memakmurkan bumi. Contoh para tokoh Islam juga menunjukkan bahwa masjid dapat menjadi pusat pergerakan sosial yang membangkitkan semangat generasi muda. Oleh karena itu, sudah saatnya masjid di era digital bertransformasi menjadi tempat yang ramah bagi milenial: tempat mereka beribadah, belajar, berkarya, dan berkontribusi untuk umat. Dengan demikian, masjid tidak hanya melahirkan generasi yang taat, tetapi juga kreatif, inovatif, dan bermanfaat bagi bangsa serta agama.
