Puji syukur kita panjatkan ke hadirat
Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah menghadirkan para teladan sepanjang
sejarah. Mereka adalah orang-orang yang tidak hanya menorehkan ilmu, tetapi
juga meninggalkan keteladanan akhlak, keberanian, dan pengabdian yang abadi.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, sang pendidik
agung yang membawa cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dalam perjalanan bangsa Indonesia, kita mengenal banyak figur yang berjuang di bidang politik, pendidikan, maupun agama. Namun, tidak semua tokoh memperoleh sorotan yang seimbang sesuai kontribusinya. Salah satu figur besar yang terkadang kurang dikenal generasi muda adalah KH. Abdul Wahid Hasyim (1914–1953). Beliau bukan hanya ulama, tetapi juga seorang pendidik progresif dan negarawan religius yang meletakkan fondasi penting bagi kehidupan beragama dan pendidikan di Indonesia.
KH. Wahid Hasyim lahir di Jombang pada 1 Juni 1914. Beliau adalah putra dari KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama sekaligus ulama karismatik pesantren Tebuireng. Sejak kecil, Wahid Hasyim ditempa dalam lingkungan pesantren yang disiplin dan sarat ilmu agama. Namun, kecerdasan dan rasa ingin tahunya mendorongnya melangkah lebih jauh daripada sekadar tradisi pesantren klasik.
Pada usia 15 tahun, Wahid Hasyim
berangkat ke Makkah untuk menimba ilmu. Di sana, ia tidak hanya memperdalam
tafsir, hadis, dan fiqih, tetapi juga menguasai bahasa asing seperti Arab,
Inggris, dan Belanda. Menurut catatan Jurnal Pendidikan Islam (Amirudin,
2018), pengalaman internasional ini membentuk pandangan Wahid Hasyim yang
terbuka: ia menyadari pentingnya menghubungkan ilmu agama dengan pengetahuan
modern. Sepulangnya dari Makkah, Wahid Hasyim terjun aktif di Tebuireng. Di
pesantren inilah gagasan besarnya tentang pendidikan lahir dan membentuk
warisan panjang bagi bangsa Indonesia.
Pemikiran dan
Konsep Pendidikan Islam Visioner
1. Integrasi Kurikulum Agama dan Umum
Wahid Hasyim memperjuangkan agar pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama klasik, tetapi juga memasukkan ilmu umum (sekolah/sekolah madrasah). Jurnal KH. Abdul Wahid Hasyim’s Paradigm on Freedom of Learning in Madrasa menyebut bahwa beliau menawarkan kurikulum campuran antara mata pelajaran agama dan umum, agar peserta didik mampu bersaing secara intelektual di masa depan.[1]
2. Metodologi Pengajaran yang Lebih
Aktif
Beliau mendukung metode pembelajaran
tutorial, bukan hanya metode teacher-centered yang dominan di pesantren
tradisional. Beliau menginginkan santri aktif, kreatif, dan tidak pasif
menerima ilmu.
3. Pendidikan Kebangsaan di Pesantren
Dalam jurnal Pendidikan Kebangsaan
Dalam Pesantren Perspektif Abdul Wahid Hasyim (Ulumuddin), digambarkan bahwa
Wahid Hasyim mengembangkan pendidikan kebangsaan dalam konteks pesantren:
bahasa asing dan bahasa Indonesia dikuasai, budaya lokal tetap dihargai, serta
semangat persatuan.
4. Pendidikan Holistik
Beliau melihat pendidikan Islam
sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan: aspek spiritual, intelektual,
emosional, dan fisik. Dalam penelitian Pendidikan Holistik Islam Perspektif KH.
Abdul Wahid Hasyim dijelaskan bahwa beliau menekankan pembangunan individu
secara menyeluruh bukan hanya pengajaran kitab atau ibadah saja.[2]
5. Reformasi Pesantren
Pengembangan institusi pesantren agar
lebih fungsional, terbuka terhadap tuntutan zaman, dan mampu memberikan manfaat
tidak hanya untuk santri tapi juga masyarakat luas. Termasuk pembaruan
kurikulum, diversifikasi kegiatan, serta pengembangan sumber daya manusia
(guru, pengajar pesantren).[3]
Kiprah dalam Bidang
Keagamaan dan Kebangsaan
Selain pendidik, KH. Wahid Hasyim juga
seorang negarawan. Ia dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama RI (1949–1952)
pada usia yang relatif muda. Dalam posisinya, beliau memperjuangkan sejumlah
kebijakan penting yang hingga kini menjadi pijakan bangsa.
1. Pendidikan agama
di sekolah umum
Salah satu warisan terpenting dari KH.
Wahid Hasyim adalah diperjuangkannya mata pelajaran agama untuk dimasukkan
secara resmi ke sekolah-sekolah negeri. Sebelum masa kepemimpinannya,
pendidikan agama belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Dengan
langkah ini, Wahid Hasyim menegaskan bahwa pendidikan nasional tidak hanya
membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan
akhlak, moral, dan spiritualitas.
Kebijakan ini menjadi tonggak lahirnya
sistem pendidikan nasional yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual
dengan kekuatan iman dan takwa. Hingga kini, pelajaran agama tetap menjadi
bagian penting dalam kurikulum pendidikan Indonesia, sebagai wujud komitmen
bangsa untuk melahirkan generasi yang cerdas sekaligus bermoral.
Hal ini sejalan dengan perintah
Al-Qur’an Surah At-Tahrim ayat 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا
وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ
لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦
Artinya:
6.
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah
terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
2. Peran dalam perumusan
dasar negara
Wahid Hasyim termasuk tokoh
NU yang terlibat dalam perdebatan Piagam Jakarta. Ia berperan sebagai penengah,
menjaga agar aspirasi Islam tetap dihargai, namun persatuan bangsa juga
terjaga. Sikap moderat ini memperlihatkan bahwa Islam dan kebangsaan bukanlah
lawan, melainkan dua hal yang bisa bersinergi.
3. Penguatan lembaga
Kementerian Agama
Ia menata
kelembagaan Kemenag agar berfungsi bukan hanya administratif, tetapi juga
sebagai pengawal moral bangsa. Contoh
nyata kontribusi: hingga kini, Kementerian Agama RI menjadi institusi yang
menjaga keharmonisan kehidupan beragama di Indonesia, berawal dari fondasi yang
diperkuat oleh KH. Wahid Hasyim.
Keteladanan dan
Pemikiran
KH. Wahid Hasyim adalah contoh ulama
yang sederhana, bersahaja, namun berwawasan luas. Gagasan-gagasannya
menunjukkan bahwa Islam bukanlah penghalang modernitas, melainkan pendorong
kemajuan.
Contoh nyata kontribusi:
1.
Kecintaannya pada bahasa asing ia wujudkan dengan
mendorong santri mempelajarinya, agar bisa mengakses ilmu global.
2.
Ketegasannya dalam menjaga pendidikan agama di sekolah
umum tetap berlaku hingga saat ini.
Inspirasi untuk
Generasi Kini
KH. Wahid Hasyim wafat dalam usia yang
relatif muda, 39 tahun, akibat kecelakaan lalu lintas pada 18 April 1953.
Namun, usianya yang singkat tidak mengurangi besarnya warisan yang ia
tinggalkan. Hingga kini, namanya diabadikan sebagai nama universitas, jalan,
hingga madrasah.
Dari sosok Wahid Hasyim, generasi muda
dapat belajar beberapa hal penting:
- Integritas dan keikhlasan – berjuang bukan untuk
popularitas, tetapi untuk maslahat umat.
- Keberanian berijtihad – membuka diri terhadap
perubahan tanpa meninggalkan prinsip agama.
- Pendidikan sebagai fondasi bangsa – keyakinan bahwa
masa depan bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikan yang religius dan
berkarakter.
Dengan meneladani semangat beliau,
generasi kini dapat membangun masyarakat yang religius, berilmu, dan
berkarakter—sesuai visi pendidikan Islam di Indonesia.
KH. Wahid Hasyim adalah teladan ulama
visioner, pendidik inklusif, dan negarawan religius. Ia membuktikan bahwa peran
ulama tidak hanya di mimbar pesantren, tetapi juga dalam membangun bangsa.
Kontribusinya pada pendidikan agama di sekolah, modernisasi pesantren, serta
perjuangannya di Kementerian Agama adalah warisan besar yang tetap hidup hingga
kini. Keteladanan KH. Wahid Hasyim mengajarkan bahwa ketakwaan harus diwujudkan
dalam karya nyata, memberi manfaat bagi umat, bangsa, dan peradaban.
[1] Azis Azis, “KH. Abdul Wahid Hasyim’s Paradigm on Freedom of Learning in Madrasa,” Journal of Islamic History 3, no. 1 (2023): 1–16, https://doi.org/10.53088/jih.v3i1.613.
[2] Muti’ah Fadillah and Resti Okvani Kartika, “Pendidikan Holistik Islam Perspektif KH. Abdul Wahid Hasyim,” Bustanul Ulum Journal of Islamic Education 2, no. 1 (2024): 53–73, https://doi.org/10.62448/bujie.v2i1.62.
[3] Umiarso El-Rumi and Asnawan Asnawan, “KH. ABDUL WAHID
HASYIM PEMBARU PESANTREN Dari Reformasi Kurikulum, Pengajaran Hingga Pendidikan
Islam Progresif,” Edukasia : Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam 13, no. 1 (2018): 431–54,
https://doi.org/10.21043/edukasia.v13i2.3960.