Jl. Harmonika No. 2 Samarinda

kotasamarinda@kemenag.go.id

  • Dr. H. Ikhwan Saputera, S. Kom, M. Sos, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Kota Samarinda
  • 2025-09-22 08:19:16
  • 770

Keseimbangan: Jalan Tengah dalam Konsumsi

Manusia, sebagai makhluk yang diciptakan dengan kehendak bebas, senantiasa dihadapkan pada pilihan. Dalam setiap gerak dan diamnya, ada keputusan yang harus diambil, dan konsumsi adalah salah satu ranah paling fundamental di mana pilihan tersebut terwujud. Bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik, konsumsi adalah cermin dari nilai, keyakinan, dan peradaban. Ia adalah jembatan yang menghubungkan hasrat internal dengan realitas eksternal, sebuah interaksi yang, jika tidak diatur, dapat menjerumuskan manusia ke dalam jurang kekacauan.

Al-Qur'an dan Sunnah, sebagai pedoman hidup umat Islam, tidak hanya memberikan petunjuk tentang ibadah ritual, melainkan juga secara komprehensif mengatur aspek muamalah, termasuk di dalamnya prinsip-prinsip konsumsi. Islam datang tidak untuk mengharamkan kenikmatan duniawi, melainkan untuk menempatkannya pada proporsi yang benar. Konsumsi dalam Islam adalah sebuah manifestasi rasa syukur, bukan nafsu serakah h. Ia adalah jembatan menuju ketaatan, bukan jurang kesesatan. Namun, realitas modern sering kali menawarkan godaan yang meruntuhkan prinsip ini.

Kita hidup di era yang dijuluki “masyarakat konsumeris”, di mana identitas individu sering kali didefinisikan oleh apa yang mereka miliki, bukan oleh apa yang mereka perbuat. Iklan yang masif, media sosial yang memamerkan gaya hidup glamor, dan kemudahan akses terhadap barang-barang mewah telah menciptakan budaya FOMO (Fear of Missing Out). Seseorang merasa tidak 'cukup' jika tidak mengikuti tren terbaru, tidak memiliki gadget tercanggih, atau tidak makan di restoran termahal. Konsumsi bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan tentang pengakuan sosial atau gaya hidup.

Persoalan ini bukan hanya menyentuh dimensi ekonomi, melainkan juga merambah ke ranah spiritual dan sosial. Ketika konsumsi berlebihan, ia merusak keseimbangan ekologis, menciptakan kesenjangan sosial yang tajam, dan, yang paling parah, mengikis hati nurani. Manusia menjadi budak dari apa yang ia beli, bukan lagi tuan atas dirinya sendiri.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang holistik dan komprehensif untuk mengurai persoalan ini. Pendekatan yang tidak hanya melihat dari kacamata ekonomi, tetapi juga dari perspektif teologis, etis, dan sosiologis. Artikel ini akan mencoba menawarkan sebuah gagasan yang berakar pada ajaran Islam: keseimbangan sebagai jalan tengah dalam konsumsi. Konsep ini bukan hanya sebuah teori idealistik, melainkan sebuah panduan praktis untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Dalam Islam, konsep keseimbangan, atau al-wasathiyyah, adalah prinsip fundamental yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Secara bahasa (etimologi), kata al-wasathiyyah berasal dari akar kata Arab “wasath” (وسط) yang berarti tengah, pertengahan, adil, atau seimbang. Dalam Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzur, kata wasath digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berada di tengah, paling baik, dan paling mulia.

Secara istilah (terminologi), al-wasathiyyah adalah konsep moderasi dalam ajaran Islam, yaitu sikap hidup yang menempuh jalan tengah, tidak berlebihan (ifrath) dan tidak mengurangi (tafrith), baik dalam aspek akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak.

Allah SWT berfirman:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

 

“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al-Baqarah: 143).

Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam ditugaskan untuk menjadi teladan dalam bersikap moderat dan seimbang, tidak berlebihan (ghuluw) dan tidak pula menyepelekan (tafrith). Dalam konteks konsumsi, al-wasathiyyah berarti menghindari dua ekstrem: pemborosan (israf) dan kekikiran (bakhil). Keduanya adalah penyakit yang merusak jiwa dan tatanan sosial. Pemborosan adalah manifestasi dari nafsu yang tidak terkendali, sementara kekikiran adalah manifestasi dari ketidakpercayaan kepada rezeki Allah. Keseimbangan adalah sikap bijaksana yang menempatkan segala sesuatu pada porsinya.

Mengintegrasikan prinsip ini ke dalam kehidupan modern bukan perkara sederhana. Diperlukan lebih dari sekadar pemahaman legalistik tentang halal dan haram; kita harus menggali makna filosofis dan hikmah di balik ajaran tersebut. Oleh karena itu, membangun kesadaran diri yang kokoh menjadi krusial untuk menghadapi derasnya gelombang konsumerisme.

Artikel ini akan mengkaji lebih dalam tentang konsep keseimbangan dalam konsumsi, mengupas tuntas dari perspektif teologis dan filosofis, serta menawarkan contoh-contoh praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tujuannya bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengajak kita semua merenung, melangkah mundur sejenak dari hiruk pikuk dunia, dan menemukan kembali makna sejati dari apa yang kita konsumsi. Mari kita kembali pada fitrah. Kembali pada kesederhanaan, pada rasa syukur, dan pada keseimbangan. Sebab, hanya dengan keseimbangan, kita dapat menemukan kedamaian, baik di dunia maupun di akhirat.

 

Mengapa Keseimbangan Itu Penting?

Keseimbangan bukan sekadar sebuah kata, ia adalah sebuah prinsip hidup yang mendalam. Dalam konsumsi, keseimbangan bukan hanya tentang berapa banyak yang kita makan atau beli, tetapi tentang mengapa kita mengonsumsi. Ia adalah pertarungan batin antara kebutuhan sejati dan hasrat yang tak berujung. Sikap israf (pemborosan) dalam Islam dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela. Allah SWT berfirman:

 

وَلَا تُسْرِفُوْا ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَۙ

 “… janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An'am: 141).

Ayat ini secara tegas melarang segala bentuk konsumsi yang melampaui batas kewajaran. Pemborosan adalah manifestasi dari ketidakmampuan mengelola nikmat Allah. Ia adalah bentuk keangkuhan, di mana seseorang merasa berhak atas segala sesuatu tanpa memedulikan orang lain atau dampak yang ditimbulkan.

Pemborosan tidak hanya terbatas pada harta benda. Ia juga merambah pada waktu, tenaga, dan pikiran. Mengonsumsi informasi secara berlebihan, menghabiskan waktu berjam-jam untuk hal yang sia-sia, atau mengejar pengakuan semu adalah bentuk-bentuk pemborosan modern. Semuanya berpangkal pada satu akar masalah: kehilangan arah.

Di sisi lain, kekikiran (bakhil) juga dilarang keras dalam Islam. Allah SWT berfirman:

الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا مُّهِيْنًاۚ

 

“(Yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang (lain) berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 37).

Kekikiran adalah kebalikan dari rasa syukur. Ia adalah wujud ketidakpercayaan pada rezeki Allah. Orang yang kikir hidup dalam ketakutan akan kekurangan, dan ketakutan ini mengikatnya dari berbuat baik kepada orang lain. Konsumsi yang dilandasi oleh kekikiran bukanlah konsumsi yang bijak, melainkan konsumsi yang dipenuhi oleh ketakutan.

 

Jadi, jalan tengahnya adalah keseimbangan. Keseimbangan dalam konsumsi adalah sikap yang bijaksana, sadar, dan bertanggung jawab.

 

Praktik Keseimbangan dalam Konsumsi Halal

 

Dalam filsafat etika Islam, konsumsi bukanlah tindakan yang netral, tetapi sebuah perbuatan yang memiliki dimensi etis dan spiritual. Tokoh seperti al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumiddin membahas secara mendalam tentang etika makan, minum, dan kepemilikan. Al-Ghazali menekankan bahwa setiap tindakan harus diniatkan untuk ibadah, termasuk makan, agar memiliki nilai di sisi Allah.

Juga dalam teori ekonomi Islam: Para ekonom Islam kontemporer, seperti M. Umer Chapra, juga menekankan pentingnya keseimbangan dalam konsumsi. Mereka berpendapat bahwa ekonomi Islam harus berlandaskan pada prinsip maqasid al-syariah (tujuan syariat), yang salah satunya adalah menjaga harta (hifz al-mal). Konsumsi berlebihan melanggar prinsip ini karena merusak kesejahteraan individu dan masyarakat.

Prinsip keseimbangan ini harus diaplikasikan dalam setiap aspek konsumsi, terutama dalam konteks produk halal. Konsumsi halal tidak hanya berarti makan makanan yang halal, tetapi juga memastikan bahwa seluruh proses, dari hulu hingga hilir, sesuai dengan syariat.

 

  1. Pentingnya Thayyib (Baik): Prinsip halalan thayyiban (halal dan baik) adalah fondasi utama. Makanan yang halal belum tentu baik. Sebagai contoh, makanan cepat saji bisa jadi halal, tetapi jika dikonsumsi berlebihan, ia tidak thayyib karena merusak kesehatan. Keseimbangan menuntut kita untuk memilih makanan yang tidak hanya halal, tetapi juga bergizi dan bermanfaat bagi tubuh. Ini adalah konsumsi yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

 

  1. Menghindari Israf dan Tabzir: Dalam konteks makanan, israf adalah membuang-buang makanan. Sebuah ironi besar di tengah kelaparan global. Jutaan ton makanan dibuang setiap tahunnya, padahal banyak saudara kita yang kelaparan. Keseimbangan menuntut kita untuk makan secukupnya, dan tidak mengambil lebih dari yang kita butuhkan. Tabzir, yang sering kali disamakan dengan israf, secara spesifik merujuk pada pemborosan harta. Membeli makanan mahal yang tidak perlu, atau membeli barang-barang mewah hanya untuk pamer, adalah contoh tabzir.

Bayangkan sebuah keluarga yang menyiapkan makan malam. Keluarga yang hidup dalam keseimbangan akan menyiapkan hidangan secukupnya, yang sesuai dengan jumlah anggota keluarga. Jika ada sisa, mereka akan menyimpannya untuk makan berikutnya atau memberikannya kepada yang membutuhkan. Mereka tidak akan membuat hidangan yang berlebihan, yang akhirnya terbuang sia-sia.

Sebaliknya, keluarga yang israf akan menyiapkan hidangan yang melimpah ruah, jauh melebihi kebutuhan, hanya untuk menciptakan kesan “mewah” atau “kaya”. Akhirnya, banyak makanan yang terbuang, mencerminkan ketidakpedulian terhadap nikmat Allah dan kelaparan yang ada di sekitar mereka.

 

  1. Konsumsi yang Berdampak Sosial: Konsumsi kita tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Konsumsi yang seimbang adalah konsumsi yang mempertimbangkan dampak sosialnya. Sebagai contoh, membeli produk dari usaha kecil menengah (UKM) lokal yang menjamin praktik halal, daripada membeli dari korporasi multinasional yang tidak jelas asal-usulnya, adalah bentuk konsumsi yang berpihak pada kesejahteraan umat. Ini adalah konsumsi yang bertanggung jawab terhadap masyarakat.

 

  1. Menjaga Keseimbangan Ekologis: Konsumsi berlebihan juga merusak lingkungan. Produksi massal yang tidak berkelanjutan menyebabkan polusi, penggundulan hutan, dan kerusakan ekosistem. Keseimbangan menuntut kita untuk memilih produk yang ramah lingkungan, mengurangi penggunaan plastik, dan mendaur ulang. Ini adalah konsumsi yang bertanggung jawab terhadap alam.

 

Seorang Muslimah yang seimbang akan memiliki lemari pakaian yang berisi pakaian yang ia butuhkan dan sering ia pakai. Pakaian tersebut mungkin tidak banyak, tetapi semuanya fungsional dan berkualitas baik. Ia membeli pakaian bukan karena tren, melainkan karena kebutuhan dan kesesuaian dengan syariat. Sebaliknya, seorang yang israf akan memiliki lemari yang penuh sesak dengan pakaian-pakaian yang jarang dipakai, dibeli hanya karena mengikuti tren atau karena dorongan emosional.

Keseimbangan adalah seni hidup. Dalam dunia yang terus-menerus mendorong kita untuk memiliki lebih, untuk menjadi lebih, dan untuk menghabiskan lebih banyak, jalan tengah adalah sebuah revolusi. Ia adalah pilihan sadar untuk menolak arus yang serakah dan kembali pada fitrah yang sederhana.

Kita tidak dipaksa untuk hidup dalam kekurangan, tetapi kita diajak untuk hidup dalam kecukupan. Kecukupan yang membawa ketenangan, bukan kekayaan yang melahirkan kegelisahan. Konsumsi bukan tentang memenuhi keinginan tak berujung, melainkan tentang mensyukuri nikmat Allah. Ia adalah sebuah ibadah, sebuah jembatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Keseimbangan dalam konsumsi adalah kunci menuju keberkahan. Ketika kita mengonsumsi secukupnya, kita memberikan kesempatan bagi orang lain. Ketika kita memilah produk yang halal dan baik, kita menjaga kesehatan diri dan keluarga. Ketika kita sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari konsumsi kita, kita menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Mari kita berhenti menjadi budak nafsu. Mari kita beranikan diri untuk berkata "cukup." Cukup dengan yang kita miliki, cukup dengan yang kita makan, dan cukup dengan yang kita inginkan. Pilihan ini mungkin terasa berat di awal, tetapi ia akan membebaskan kita dari belenggu materialisme yang menyesakkan.

Keseimbangan adalah kekuatan. Kekuatan untuk melawan tren. Kekuatan untuk hidup sesuai dengan nilai, bukan sesuai dengan tuntutan pasar. Kekuatan untuk menjadi manusia yang merdeka, yang jiwanya kaya meskipun hartanya sederhana.

Jadikan setiap gigitan, setiap pembelian, dan setiap pilihan konsumsi sebagai langkah menuju Allah. Sebab, pada akhirnya, yang akan dihitung bukanlah seberapa banyak yang kita konsumsi, melainkan seberapa besar manfaat yang kita berikan. Hidup adalah tentang memberi, bukan mengambil. Dan konsumsi yang seimbang adalah awal dari perjalanan memberi yang tak akan pernah berakhir.

 

Catatan Kaki:

 

¹ QS. Al-Baqarah: 143.

² QS. Al-An'am: 141.

³ QS. An-Nisa: 37.

⁴ Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, Kitab Adab al-Ma'isyah wa al-Siyamah.

⁵ M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, hlm. 120-125.

⁶ Bank Indonesia, "Prinsip dan Konsep Ekonomi Syariah," dalam Buku Panduan Ekonomi Syariah, edisi 2023. Prinsip konsumsi seimbang (i'tidal) menjadi salah satu pilar utama dalam pemahaman ekonomi syariah kontemporer.

⁷ Kementrian Agama RI, "Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 12 Tahun 2022 tentang Pedoman Konsumsi Halal dan Thayyib." Fatwa ini menegaskan pentingnya konsumsi yang tidak hanya halal, tetapi juga baik, sehat, dan tidak berlebihan, termasuk dalam konteks makanan dan gaya hidup.

⁸ Husein, Ali. "Konsumerisme dan Dampak Sosialnya di Era Digital: Tinjauan Sosiologis-Islam." Jurnal Sosial dan Budaya, Vol. 5, No. 2 (2024), hlm. 45-60. Artikel ini mengkaji fenomena konsumerisme di media sosial dan implikasinya terhadap nilai-nilai Islam.


⁹ Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Global Food Loss and Waste, laporan 2023. Laporan ini menunjukkan data statistik tentang jumlah makanan yang terbuang secara global, mengilustrasikan dampak nyata dari israf.

Alamat

  • Jl. Harmonika no. 2 Samarinda
  • (0541) 743736
  • 082191575187
  • kotasamarinda@kemenag.go.id
  • Senin - Jum'at: 08:00 - 15:30