Manusia, sebagai makhluk yang diciptakan dengan
kehendak bebas, senantiasa dihadapkan pada pilihan. Dalam setiap gerak dan
diamnya, ada keputusan yang harus diambil, dan konsumsi adalah salah satu ranah
paling fundamental di mana pilihan tersebut terwujud. Bukan hanya sekadar
memenuhi kebutuhan fisik, konsumsi adalah cermin dari nilai, keyakinan, dan
peradaban. Ia adalah jembatan yang menghubungkan hasrat internal dengan
realitas eksternal, sebuah interaksi yang, jika tidak diatur, dapat
menjerumuskan manusia ke dalam jurang kekacauan.
Al-Qur'an dan Sunnah, sebagai pedoman hidup umat
Islam, tidak hanya memberikan petunjuk tentang ibadah ritual, melainkan juga
secara komprehensif mengatur aspek muamalah, termasuk di dalamnya
prinsip-prinsip konsumsi. Islam datang tidak untuk mengharamkan kenikmatan
duniawi, melainkan untuk menempatkannya pada proporsi yang benar. Konsumsi
dalam Islam adalah sebuah manifestasi rasa syukur, bukan nafsu serakah h. Ia
adalah jembatan menuju ketaatan, bukan jurang kesesatan. Namun, realitas modern
sering kali menawarkan godaan yang meruntuhkan prinsip ini.
Kita hidup di era yang dijuluki “masyarakat
konsumeris”, di mana identitas individu sering kali didefinisikan oleh apa
yang mereka miliki, bukan oleh apa yang mereka perbuat. Iklan yang masif, media
sosial yang memamerkan gaya hidup glamor, dan kemudahan akses terhadap
barang-barang mewah telah menciptakan budaya FOMO (Fear of
Missing Out). Seseorang merasa tidak 'cukup' jika tidak mengikuti tren
terbaru, tidak memiliki gadget tercanggih, atau tidak makan di restoran
termahal. Konsumsi bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan tentang pengakuan
sosial atau gaya hidup.
Persoalan ini bukan hanya menyentuh dimensi ekonomi,
melainkan juga merambah ke ranah spiritual dan sosial. Ketika konsumsi
berlebihan, ia merusak keseimbangan ekologis, menciptakan kesenjangan sosial
yang tajam, dan, yang paling parah, mengikis hati nurani. Manusia menjadi budak
dari apa yang ia beli, bukan lagi tuan atas dirinya sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah pendekatan yang
holistik dan komprehensif untuk mengurai persoalan ini. Pendekatan yang tidak
hanya melihat dari kacamata ekonomi, tetapi juga dari perspektif teologis,
etis, dan sosiologis. Artikel ini akan mencoba menawarkan sebuah gagasan yang
berakar pada ajaran Islam: keseimbangan sebagai jalan tengah dalam konsumsi.
Konsep ini bukan hanya sebuah teori idealistik, melainkan sebuah panduan
praktis untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Dalam Islam, konsep keseimbangan, atau al-wasathiyyah,
adalah prinsip fundamental yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Secara
bahasa (etimologi), kata al-wasathiyyah
berasal dari akar kata Arab “wasath”
(وسط) yang berarti tengah, pertengahan, adil, atau seimbang. Dalam Lisan al-‘Arab karya Ibn
Manzur, kata wasath
digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berada di tengah, paling baik, dan
paling mulia.
Secara istilah (terminologi), al-wasathiyyah adalah
konsep moderasi
dalam ajaran Islam, yaitu sikap hidup yang menempuh jalan tengah, tidak
berlebihan (ifrath) dan tidak mengurangi (tafrith), baik dalam aspek akidah,
ibadah, muamalah, maupun akhlak.
Allah SWT berfirman:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى
النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….” (QS. Al-Baqarah: 143).
Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam ditugaskan untuk menjadi teladan
dalam bersikap moderat dan seimbang, tidak berlebihan (ghuluw) dan tidak
pula menyepelekan (tafrith). Dalam konteks konsumsi, al-wasathiyyah
berarti menghindari dua ekstrem: pemborosan (israf) dan kekikiran
(bakhil). Keduanya adalah penyakit yang merusak jiwa dan tatanan sosial.
Pemborosan adalah manifestasi dari nafsu yang tidak terkendali, sementara
kekikiran adalah manifestasi dari ketidakpercayaan kepada rezeki Allah.
Keseimbangan adalah sikap bijaksana yang menempatkan segala sesuatu pada
porsinya.
Mengintegrasikan prinsip ini ke dalam kehidupan
modern bukan perkara sederhana. Diperlukan lebih dari sekadar pemahaman
legalistik tentang halal dan haram; kita harus menggali makna filosofis dan
hikmah di balik ajaran tersebut. Oleh karena itu, membangun kesadaran diri yang
kokoh menjadi krusial untuk menghadapi derasnya gelombang konsumerisme.
Artikel ini akan mengkaji lebih dalam tentang konsep
keseimbangan dalam konsumsi, mengupas tuntas dari perspektif teologis dan
filosofis, serta menawarkan contoh-contoh praktis yang relevan dengan kehidupan
sehari-hari. Tujuannya bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengajak kita
semua merenung, melangkah mundur sejenak dari hiruk pikuk dunia, dan menemukan
kembali makna sejati dari apa yang kita konsumsi. Mari kita kembali pada
fitrah. Kembali pada kesederhanaan, pada rasa syukur, dan pada
keseimbangan. Sebab, hanya dengan keseimbangan, kita dapat menemukan kedamaian,
baik di dunia maupun di akhirat.
Mengapa
Keseimbangan Itu Penting?
Keseimbangan bukan sekadar sebuah kata, ia adalah
sebuah prinsip hidup yang mendalam. Dalam konsumsi, keseimbangan bukan hanya
tentang berapa banyak yang kita makan atau beli, tetapi tentang mengapa
kita mengonsumsi. Ia adalah pertarungan batin antara kebutuhan sejati dan
hasrat yang tak berujung. Sikap israf (pemborosan) dalam Islam
dianggap sebagai perbuatan yang sangat tercela. Allah SWT berfirman:
وَلَا تُسْرِفُوْا
ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَۙ
“… janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (QS. Al-An'am: 141).
Ayat ini secara
tegas melarang segala bentuk konsumsi yang melampaui batas kewajaran.
Pemborosan adalah manifestasi dari ketidakmampuan mengelola nikmat Allah. Ia
adalah bentuk keangkuhan, di mana seseorang merasa berhak atas segala sesuatu
tanpa memedulikan orang lain atau dampak yang ditimbulkan.
Pemborosan tidak
hanya terbatas pada harta benda. Ia juga merambah pada waktu, tenaga, dan
pikiran. Mengonsumsi informasi secara berlebihan, menghabiskan waktu berjam-jam
untuk hal yang sia-sia, atau mengejar pengakuan semu adalah bentuk-bentuk
pemborosan modern. Semuanya berpangkal pada satu akar masalah: kehilangan
arah.
Di sisi lain,
kekikiran (bakhil) juga dilarang keras dalam Islam. Allah SWT berfirman:
الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ
مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ عَذَابًا
مُّهِيْنًاۚ
“(Yaitu)
orang-orang yang kikir, menyuruh orang (lain) berbuat kikir, dan menyembunyikan
karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa:
37).
Kekikiran adalah kebalikan dari rasa syukur. Ia
adalah wujud ketidakpercayaan pada rezeki Allah. Orang yang kikir hidup dalam
ketakutan akan kekurangan, dan ketakutan ini mengikatnya dari berbuat baik
kepada orang lain. Konsumsi yang dilandasi oleh kekikiran bukanlah konsumsi
yang bijak, melainkan konsumsi yang dipenuhi oleh ketakutan.
Jadi, jalan tengahnya adalah keseimbangan.
Keseimbangan dalam konsumsi adalah sikap yang bijaksana, sadar, dan
bertanggung jawab.
Praktik
Keseimbangan dalam Konsumsi Halal
Dalam filsafat etika Islam, konsumsi bukanlah
tindakan yang netral, tetapi sebuah perbuatan yang memiliki dimensi etis dan
spiritual. Tokoh seperti al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumiddin
membahas secara mendalam tentang etika makan, minum, dan kepemilikan.
Al-Ghazali menekankan bahwa setiap tindakan harus diniatkan untuk ibadah,
termasuk makan, agar memiliki nilai di sisi Allah.
Juga dalam teori ekonomi Islam: Para ekonom
Islam kontemporer, seperti M. Umer Chapra, juga menekankan pentingnya
keseimbangan dalam konsumsi. Mereka berpendapat bahwa ekonomi Islam harus
berlandaskan pada prinsip maqasid al-syariah (tujuan syariat), yang
salah satunya adalah menjaga harta (hifz al-mal). Konsumsi berlebihan
melanggar prinsip ini karena merusak kesejahteraan individu dan masyarakat.
Prinsip keseimbangan ini harus diaplikasikan dalam
setiap aspek konsumsi, terutama dalam konteks produk halal. Konsumsi halal
tidak hanya berarti makan makanan yang halal, tetapi juga memastikan bahwa
seluruh proses, dari hulu hingga hilir, sesuai dengan syariat.
- Pentingnya Thayyib (Baik): Prinsip halalan
thayyiban (halal dan baik) adalah fondasi utama. Makanan yang halal
belum tentu baik. Sebagai contoh, makanan cepat saji bisa jadi halal,
tetapi jika dikonsumsi berlebihan, ia tidak thayyib karena merusak
kesehatan. Keseimbangan menuntut kita untuk memilih makanan yang tidak
hanya halal, tetapi juga bergizi dan bermanfaat bagi tubuh. Ini adalah konsumsi yang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri.
- Menghindari Israf dan Tabzir: Dalam konteks makanan, israf
adalah membuang-buang makanan. Sebuah ironi besar di tengah kelaparan
global. Jutaan ton makanan dibuang setiap tahunnya, padahal banyak saudara
kita yang kelaparan. Keseimbangan menuntut kita untuk makan secukupnya,
dan tidak mengambil lebih dari yang kita butuhkan. Tabzir, yang
sering kali disamakan dengan israf, secara spesifik merujuk pada
pemborosan harta. Membeli makanan mahal yang tidak perlu, atau membeli
barang-barang mewah hanya untuk pamer, adalah contoh tabzir.
Bayangkan sebuah
keluarga yang menyiapkan makan malam. Keluarga yang hidup dalam keseimbangan
akan menyiapkan hidangan secukupnya, yang sesuai dengan jumlah anggota
keluarga. Jika ada sisa, mereka akan menyimpannya untuk makan berikutnya atau
memberikannya kepada yang membutuhkan. Mereka tidak akan membuat hidangan yang
berlebihan, yang akhirnya terbuang sia-sia.
Sebaliknya, keluarga
yang israf akan menyiapkan hidangan yang melimpah ruah, jauh melebihi
kebutuhan, hanya untuk menciptakan kesan “mewah” atau “kaya”. Akhirnya, banyak
makanan yang terbuang, mencerminkan ketidakpedulian terhadap nikmat Allah dan
kelaparan yang ada di sekitar mereka.
- Konsumsi yang Berdampak Sosial: Konsumsi kita tidak hanya
berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada orang lain. Konsumsi yang
seimbang adalah konsumsi yang mempertimbangkan dampak sosialnya. Sebagai
contoh, membeli produk dari usaha kecil menengah (UKM) lokal yang menjamin
praktik halal, daripada membeli dari korporasi multinasional yang tidak
jelas asal-usulnya, adalah bentuk konsumsi yang berpihak pada
kesejahteraan umat. Ini adalah konsumsi yang bertanggung jawab terhadap
masyarakat.
- Menjaga Keseimbangan Ekologis: Konsumsi
berlebihan juga merusak lingkungan. Produksi massal yang tidak
berkelanjutan menyebabkan polusi, penggundulan hutan, dan kerusakan
ekosistem. Keseimbangan menuntut kita untuk memilih produk yang ramah
lingkungan, mengurangi penggunaan plastik, dan mendaur ulang. Ini adalah konsumsi yang
bertanggung jawab terhadap alam.
Seorang Muslimah yang seimbang akan memiliki lemari pakaian yang berisi
pakaian yang ia butuhkan dan sering ia pakai. Pakaian tersebut mungkin tidak
banyak, tetapi semuanya fungsional dan berkualitas baik. Ia membeli pakaian
bukan karena tren, melainkan karena kebutuhan dan kesesuaian dengan syariat. Sebaliknya,
seorang yang israf akan memiliki lemari yang penuh sesak dengan pakaian-pakaian
yang jarang dipakai, dibeli hanya karena mengikuti tren atau karena dorongan
emosional.
Keseimbangan adalah seni hidup. Dalam dunia yang terus-menerus mendorong
kita untuk memiliki lebih, untuk menjadi lebih, dan untuk menghabiskan lebih
banyak, jalan tengah adalah sebuah revolusi. Ia adalah pilihan sadar untuk
menolak arus yang serakah dan kembali pada fitrah yang sederhana.
Kita tidak dipaksa untuk hidup dalam kekurangan, tetapi kita diajak untuk
hidup dalam kecukupan. Kecukupan yang membawa ketenangan, bukan kekayaan yang
melahirkan kegelisahan. Konsumsi bukan tentang memenuhi keinginan tak berujung,
melainkan tentang mensyukuri nikmat Allah. Ia adalah sebuah ibadah,
sebuah jembatan untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Keseimbangan dalam konsumsi adalah kunci menuju keberkahan. Ketika kita
mengonsumsi secukupnya, kita memberikan kesempatan bagi orang lain. Ketika kita
memilah produk yang halal dan baik, kita menjaga kesehatan diri dan keluarga.
Ketika kita sadar akan dampak sosial dan lingkungan dari konsumsi kita, kita
menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Mari kita berhenti menjadi budak nafsu. Mari kita
beranikan diri untuk berkata "cukup." Cukup dengan yang kita miliki,
cukup dengan yang kita makan, dan cukup dengan yang kita inginkan. Pilihan ini
mungkin terasa berat di awal, tetapi ia akan membebaskan kita dari belenggu
materialisme yang menyesakkan.
Keseimbangan adalah kekuatan. Kekuatan untuk melawan
tren. Kekuatan untuk hidup sesuai dengan nilai, bukan sesuai dengan tuntutan
pasar. Kekuatan untuk menjadi manusia yang merdeka, yang jiwanya kaya meskipun
hartanya sederhana.
Jadikan setiap gigitan, setiap pembelian, dan setiap
pilihan konsumsi sebagai langkah menuju Allah. Sebab, pada akhirnya, yang akan
dihitung bukanlah seberapa banyak yang kita konsumsi, melainkan seberapa besar
manfaat yang kita berikan. Hidup adalah tentang memberi, bukan mengambil. Dan
konsumsi yang seimbang adalah awal dari perjalanan memberi yang tak akan pernah
berakhir.
Catatan Kaki:
¹ QS. Al-Baqarah: 143.
² QS. Al-An'am: 141.
³ QS. An-Nisa: 37.
⁴ Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, Kitab Adab
al-Ma'isyah wa al-Siyamah.
⁵ M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, hlm.
120-125.
⁶ Bank Indonesia, "Prinsip dan Konsep Ekonomi Syariah," dalam Buku Panduan Ekonomi Syariah, edisi 2023. Prinsip konsumsi seimbang (i'tidal) menjadi salah satu pilar utama dalam pemahaman ekonomi syariah kontemporer.
⁷ Kementrian Agama RI, "Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 12 Tahun 2022 tentang Pedoman Konsumsi Halal dan Thayyib." Fatwa ini menegaskan pentingnya konsumsi yang tidak hanya halal, tetapi juga baik, sehat, dan tidak berlebihan, termasuk dalam konteks makanan dan gaya hidup.
⁸ Husein, Ali. "Konsumerisme dan Dampak Sosialnya di Era Digital: Tinjauan Sosiologis-Islam." Jurnal Sosial dan Budaya, Vol. 5, No. 2 (2024), hlm. 45-60. Artikel ini mengkaji fenomena konsumerisme di media sosial dan implikasinya terhadap nilai-nilai Islam.
⁹ Organisasi Pangan dan Pertanian PBB
(FAO), Global Food Loss and Waste, laporan 2023. Laporan ini menunjukkan data
statistik tentang jumlah makanan yang terbuang secara global, mengilustrasikan
dampak nyata dari israf.